Pintar. Bodoh. Dua kata yang sangat umum di dunia pendidikan kita. Jujur saja, saya kurang menyukai penggunaan kedua kata tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Saya merasa kita masih terjebak dalam paradigma pintar dan bodoh.
Para murid diklasifikasikan berdasarkan dua sifat tersebut.
Murid yang sering mendapat nilai bagus disebut “pintar”, sedangkan yang sering mendapat nilai jelek disebut “bodoh”. Klasifikasi ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Kapan kita bisa lepas dari paradigma ini? Pertanyaan yang masih susah dijawab.
Cara pendidikan kita masih berorientasi pada hasil akhir (nilai), bukan berorientasi pada proses pembelajaran dan pemahaman itu sendiri. Mungkin itu penyebab utama munculnya klasifikasi ini. Seringkali saya melihat banyak orang yang merasa lemah dalam hal akademis dan kemudian berpikir bahwa orang-orang yang berprestasi di bidang akademis udah pinter dari sononya… Selama satu tahun kuliah saya merasa orang-orang di sekitar saya, termasuk saya juga, masih terjebak dalam paradigma pintar dan bodoh. Kedua kata tersebut berpeluang mempengaruhi mental seseorang baik secara positif maupun negatif. Kata “bodoh” yang berkonotasi negatif lebih berpeluang membawa efek negatif. Misal, kita dikatai orang bahwa kita bodoh, jika kita berpikir positif itu akan menjadi lecutan bagi kita untuk membuktikan bahwa kita tidak sebodoh yang dikatakan orang lain, sementara jika kita berpikir negatif kita akan merasa bahwa kita memang “bodoh” dan tidak berpeluang menjadi “pintar”. Sayangnya, di dunia pendidikan kita, antara sesama murid sering saling memberikan preedikat “bodoh”, bahkan tak jarang sang pengajar (guru, dosen, dsb.), baik secara eksplisit maupun implisit memberikan predikat “bodoh” kepada murid-muridnya. Hal ini menyebabkan para murid berlomba-lomba mendapat predikat “pintar” yang diukur dari besarnya nilai akhir. Perlombaan ini kemudian berpeluang melahirkan kompetisi negatif, satu sama lain mencari kelemahan dan saling ingin mengalahkan, bukannya kompetisi yang saling membangun.
Menurut saya belajar merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan, proses dari belum tahu menjadi tahu, dari belum paham menjadi paham, dari belum bisa menjadi bisa. Jadi, dalam proses belajar mengajar seharusnya tidak ada klasifikasi pintar dan bodoh. Sang pengajar harus berusaha sebaik mungkin agar dapat mentransfer ilmu sambil memfasilitasi para murid dalam proses tersebut, sedangkan para murid juga harus mengikuti proses tersebut dengan baik agar mampu memeahami dan menerapkan ilmu yang didapat. Saya mengakui bahwa kita, manusia, diciptakan berbeda-beda dengan adanya kelebihan dan kekurangan, ada orang-orang yang diberi anugerah kelebihan dalam hal akademis dan ada juga yang memiliki kekurangan dalam hal akademis. Jadi, wajar jika dalam proses tersebut setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Misal, si A sudah mencapai taraf “tahu”, sedangkan si B dalam waktu yang sama sudah mencapai taraf “paham”, ternyata ada juga si C yang sudah mencapai taraf “bisa”. Di saat seperti inilah yang seharusnya muncul bukan klasifikasi, melainkan proses saling mengisi, baik antara murid dengan murid, maupun murid dengan pengajar.
Jadi, sebaiknya kelebihan dan kekurangan tersebut jangan dibawa terlalu jauh di dalam dunia pendidikan, karena di dunia pendidikan, kita belajar bukan untuk mencari predikat pintar, tapi untuk mendapatkan ilmu dan kemudian menerapkankannya dalam kehidupan bersama. Saya berharap orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal akademis janganlah terlalu sombong untuk berbagi ilmu dengan yang lainnya, sementara itu bagi yang masih lemah dalam hal akademis janganlah ragu untuk bertanya dan terus belajar.
Bagi saya, yang terpenting, sekaligus yang terberat, adalah menikmati proses belajar mengajar itu sendiri. Memang, nilai akhir tetap menjadi patokan umum, tapi saya yakin nilai akhir yang baik bisa dicapai melalui atmosfer belajar yang baik plus persiapan yang matang dari masing-masing individu. Saya yakin jika kita menikmati apa yang kita kerjakan, kita akan mendapatkan “sesuatu” yang berharga dalam proses tersebut, “sesuatu” yang hanya bisa kita sendiri yang merasakan, lebih bermakna dibandingkan nilai atau skor akhir yang kita dapatkan.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk lepas dari paradigma pintar dan bodoh, karena belajar bukan tentang “pintar” dan “bodoh”, belajar adalah proses menjadi manusia yang lebih bermakna dari hari ke hari. Saya tidak merasa pintar, masih banyak hal-hal yang ingin saya pelajari. Karena namanya saja proses belajar mengajar, sudah semestinya kita saling belajar dan juga mengajar satu sama lain. Agar kita menjadi orang yang lebih bermakna, bagi kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Untuk yang terlanjur mendapat predikat bodoh, janganlah berkecil hati, saya teringat pesan yang diberikan Steve Jobs kepada wisudawan Stanford University, “Stay hungry, stay foolish”, jangan merasa puas, tetap merasa bodoh. Kata-kata itu sangat keren menurut saya, jadi jangan berkecil hati jika dikatai bodoh, karena jika kita merasa bodoh kita akan terus belajar.
Selengkapnya...